CERPEN : Kalong si Troublemakerku yang Malang

Kadangkala seseorang yang dulu kita anggap menyebalkan akan sangat kita nantikan ketika kita berjauhan darinya. Itulah yang Alin rasakan kini. Seseorang yang pernah mengisi hari-harinya telah pergi dari hidupnya dengan keadaan yang sama sekali berbeda dengan awalnya. Sebenarnya, ia tidak menyebalkan, tapi lebih tepatnya lagi adalah benar-benar menyebalkan. Ada-ada saja keusilannya yang membuat Alin terganggu, sebal, dan kemudian ingin menghajarnya sampai tinggal nama. Elson namanya, ia memang suka mengganggu Alin. Rambut Alin ditarik-tariknya, jaket atau tas Alin disembunyikannya, dan macam-macam jenis kenakalan lainnya. Seringkali juga Elson mengejek Alin, bahkan nama Alin dirubahnya menjadi Alien. Menyebalkan sekali, kan? Saking sebalnya, Alin menggelari Elson dengan nama Kalong si Troublemaker. Troublemaker? Jelas karena ia senang sekali membuat ulah. Kalong? Entahlah, Alin sendiri bingung dari sisi mananya ia menggelari Elson dengan gelar tersebut. Awalnya Alin sangat terganggu, tapi Elson sepertinya tidak peduli. Akhirnya, Alin membiarkan saja dan tidak terlalu menanggapi, seraya berharap penuh semoga Elson bisa segera bosan dengan sendirinya.

       “Alien!” teriak Elson suatu hari. Alin segera menutup kedua telinganya, sementara itu teman-teman sekelas yang mendengar teriakan Elson hanya tertawa.

       “Alien! Buat apa sih belajar segala? Nyontek sajalah, gak usah terlalu alim!” Kata Elson seraya merebut buku catatan yang tengah dipelajari oleh Alin. Kontan saja Alin kaget dan berusaha untuk merebut bukunya kembali. Tapi anak laki-laki memang lebih kuat, sekuat apapun Alin mencoba merebut bahkan sambil memohon-mohon, toh Elson tetap menang dan tidak memberikan buku itu kepada Alin. Menyebalkan!

       “Sebal, sebal, sebal, sebal, sebaaaal!!!” kata Alin kepada Sri, sahabatnya pada saat perjalanan pulang sekolah.

       “Kenapa, sih?” tanya Sri santai seolah-olah tidak tahu apa-apa.

       “Kamu ini selalu pura-pura tidak tahu saja!” gerutu Alin, “Itu tuh si Kalong troublemaker keparat itu! Masa waktu aku lagi belajar, buku catatanku direbut. Rasanya mau kuhajar, kutinju, kuinjak-injak, kugulung-gulung, kuremas-remas, kemudian ku….”

       “Jadikan perkedel!” potong Sri cepat.

       “Ehehehe…. kok tau? Pokonya ini sudah benar-benar dalam tahap serius. Kalong itu mesti diberikan penegasan!” kata Alin sambil mengepalkan tangannya. Gemas, marah, dan sebal bercampur jadi satu.

       “Ehm, masa? Perasaan sudah berpuluh-puluh kali kamu menyatakan perang dengan Elson tapi toh kamu gak pernah tegas sama dia? Kalau kamu memang tidak suka diusili, katakan saja padanya. Gak perlu takut!” sahut Sri acuh tak acuh. Alin langsung cemberut. Memang sih sudah tak terhitung berapa kali Alin berkata begitu. Hampir setiap hari malah, kecuali hari minggu karena gak ketemu sama si kalong. Alin membetulkan letak kacamatanya seraya berkata,

       “Aku kan masih berusaha untuk sabar. Siapa tau dia bisa insaf dan tobat!”

       “Sampai kapan? Atau jangan-jangan kamu punya rasa sama dia, Lin?” Pertanyaan Sri hampir saja membuat mulut Alin menyemburkan jus sirsak yang tengah diminumnya. Dengan cepat Alin menyahut,

       “Gak, gak, gak mungkin! Sampai lebaran monyet sekalipun, aku gak akan pernah punya rasa sama dia, kecuali rasa sebal!”

       “Atau mungkin dianya yang punya rasa sama kamu!”

       “Itu juga sama gak mungkinnya!”

       “Hati-hati, lho… Cepat atau lambat nanti pasti akan ada rasa yang lain kok, Alienku sayang!” Ucap Sri sambil menepuk punggungku keras. Alin memonyongkan bibir sambil menggeliat kesakitan. Ah, Sri kok ikut-ikutan memanggil namanya Alien. Awas kau, Kalong si Troublemaker menyebalkan!

       Memang kesabaran manusia ada batasnya. Lama-lama Alin tidak mampu juga jika harus menahan rasa sebal yang “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit” ini. Kemarahan yang selama ini dipendamnya akhirnya tertumpah keluar karena kelakuan Elson yang sangat keterlaluan dan membuat teman-teman sekelas menggelengkan kepala. Elson diam-diam memotong separo dari rambut Alin saat Alin tengah serius belajar. Rambut panjang Alin memang sengaja dibiarkannya tergerai di hari itu.

       “Kurang ajar!” umpat Alin. Rambut panjang sepinggang yang selama ini dibangga-banggakan dan dirawatnya dengan hati-hati terpaksa harus dipotong hari itu. Dasar cowok brengsek!

       “Cukup, Elson! Mau kamu itu apa sih? Setiap hari selalu menggangguku! Bosan tau gak? Aku benci padamu!”

       “Hei, lihat, lihat, si Alien marah! Wow, seram….” Teriaknya tanpa mempedulikan perkataanku. Alin ingin menangis, kesal sekali rasanya.

       “Kamu tau tidak sih, capeknya merawat rambutku ini! Seenaknya saja kau memotong rambutku. Kau pikir bisa dilem kembali pake lem Castol?” sembur Alin, “kamu benar-benar gila, ya? Apakah kamu pikir aku tidak bosan jika selalu diganggu? Kamu pikir aku diam karena aku menyukai kelakuanmu itu? Aku tidak bodoh, Elson! Aku benci kamu!” Alin terus berteriak hingga kehilangan kata-kata. Sempat Alin melihat ekspresi penyesalan di raut wajah Elson. Sekilas juga tampak raut muka kesedihan dan kekecewaan di wajah itu. Biar saja! Alin gak perduli! Sudah cukup selama ini Alin menjadi korban dari keusilan Elson dan terus diam!

       Keesokan harinya, Elson tidak masuk. Alin tidak perduli. Hari kedua, hari ketiga, tetap tidak masuk. Alin tetap tidak perduli. Hari keempat, Alin mulai merasa ada yang kurang. Ya, kelas rasanya sepi sekali. Tidak ada yang memanggilnya dengan julukan Alien dan tidak ada lagi yang mengganggu Alin seperti biasanya. Namun tetap saja, Alin bersikap tidak perduli.

       “Paling-paling mati nabrak pohon! Amin!” kata Alin kepada Sri. Sri hanya menggelengkan kepalanya melihat sahabatnya.

       Hari kelima baru ada kabar, katanya Elson sudah pindah sekolah ke sebuah SMA di Kalimantan Selatan. Alin tetap tidak perduli, meskipun sebenarnya heran juga, dan bertanya-tanya dalam hati

       “Tuh anak kepindahannya kok mendadak, jangan-jangan karena perkataanku kemarin, ya?” namun dengan segera ditepisnya pemikiran itu.

       Hari-hari yang Alin lewati selanjutnya terasa sangat sepi. Tidak ada lagi yang mengganggunya seperti biasanya. Sumpah, sepi 100%! Hari-hari Alin terasa ada yang kurang tanpa kehadiran dan keusilan Elson. Secara tidak sadar, Alin merasa bahwa Elson telah menjadi sosok yang mengisi hari-harinya.

       “Duh, kenapa aku ingin bertemu denganmu?”

***

Setahun kemudian, Alin lulus dari SMA dan melanjutkan kuliah di sebuah universitas di Kalimantan Selatan. Sinar mentari yang bersinar dengan teriknya membuat Alin melangkahkan kakinya secara tergesa-gesa. Alin ingin segera sampai ke kosnya dan beristirahat.

“Lari….Lari….!” teriak segerombolan anak-anak dari arah yang berlawanan dengan Alin. Alin kaget melihat mereka, berlari-lari sambil tertawa-tawa. Dibelakang mereka ada seorang laki-laki yang berpakaian kusuh, tak bersandal, urak-urakan, dan dekil.

“Hei, kalian! Mana Alienku sayang?” teriak laki-laki itu.

Deg, jantung Alin serasa berhenti berdetak. Alin tercekat ketika mendengar kata alien disebutkan.

“Kau tolak cintaku, Alien! Aku benci kau! Kau gila, Alien! Kau gila!”

Memori masa SMA kembali terkenang dalam ingatan Alin. Elson, keusilannya, ejekannya, julukannya untuk Alin, dan peristiwa di hari dimana Alin memarahi Elson. Alin menepis semua kenangan itu dan berharap alien yang dimaksud laki-laki itu adalah alien yang lain.

“Duhai, Alien! Kupanggil kau demikian karena kusayang padamu! Aku cinta padamu!” teriak laki-laki itu seraya mengacak-ngacak rambut gimbalnya, “Alien… Maafkan aku!”

Alin merasa takut dan mencoba untuk segera menyingkir, namun laki-laki itu sudah berdiri dihadapannya! Lutut Alin gemetar, takut dan tidak percaya dengan sosok yang tengah berdiri di hadapannya kini.

“Hi…hi…. Siapa kamu? Apa kau alienku sayang?”

Laki-laki itu mengguncang-guncang bahu Alin seraya terus bertanya. Alin menatap dengan seksama wajahnya dan mencoba untuk berkata,

“Elson?”

Laki-laki itu diam sejenak, kemudian cekikikan.

“Elson? Kamu Elsonkan? Ini aku, Alin, teman SMAmu dulu. Kenapa, Son? Kenapa kamu sampai seperti ini?” Alin mencoba untuk berbicara dengannya meskipun Alin tau ini adalah hal yang sia-sia, “Son, ini aku Alin, kau ingat aku kan? Kau panggil aku dengan julukan Alien?”

Kembali laki-laki itu cekikikan dan melepaskan pegangannya dari bahu Alin. Usaha Alin sia-sia.

“Kukutuk kau, Alien! Kau tak tau rasaku padamu! Engkau gila! Engkau mati!” laki-laki itu kembali berteriak sambil menjauh meninggalkan Alin, “Wahai dinda Alienku sayang, dimanakah engkau berada?”

Laki-laki itu terus berteriak tidak karuan seraya menyebut-nyebut nama Alien. Ia mengobrak-abrik tempat sampah dan melemparkan batu-batu kesana kemari. Alin hanya bisa tenggelam dalam tangis. Tangis simpati karena nasib seorang teman semasa sekolah dan tangis penyesalan atas isyarat rasa yang tak pernah berhasil ditangkapnya. Alin benar-benar tidak menyangka dan tidak mengerti mengapa ini bisa terjadi pada Elson. Satu hal yang bisa Alin pahami adalah betapapun bencinya kau padanya, kau pasti tidak akan rela jika melihat keadaannya sekarang ini. Kau akan merasa sangat kehilangan ketika orang yang kau kenal pernah mengisi hidupmu –sekalipun mengisi dengan keusilan – menjadi orang yang sama sekali berbeda dengan yang dulu. Bahkan parahnya, ia tidak mengenalimu lagi. Satu yang pasti, Alin tidak pernah berharap untuk berjumpa dengan Elson dalam keadaan seperti ini.

“Ah, Kalong si Troublemakerku yang malang, seandainya bisa, ingin kuulang kembali waktu kita dulu. Kalong, I miss You….

2 Comments

Tinggalkan Balasan ke ピストバイク チェーンリング ブラック Batalkan balasan